“Aku semakin merasa tertinggal”.
Sekelibat pemikiran itu datang ketika aku sedang melihat akun sosial media yang aku ikuti. Orang-orang itu menunjukkan keseharian, kegiatan liburan, hingga pencapaian yang baru saja diraih. Lalu aku bertanya ke diri sendiri, mengapa aku merasa masih pada titik yang sama? Mengapa aku tidak seperti mereka yang telah berproses jauh ke depan? Mengapa, mengapa, dan mengapa.
Aku mencoba memahami pemikiranku sendiri, melihat lagi ke belakang tentang apa saja yang sudah saya lakukan. Banyak hal yang sudah dicoba, tetapi banyak juga yang belum, entah karena belum ada kesempatan atau karena belum berani mencoba. Semakin aku memikirkan tentang masa lalu, semakin pemikiran “merasa tertinggal” berputar di kepala.
Pada akhirnya, yang aku harapkan adalah bisa menjadi seperti mereka yang bisa menampilkan kehidupan penuh kebahagiaan dan pencapaian. Namun, apakah aku perlu punya pencapaian seperti mereka? Kemudian aku berkontemplasi untuk menemukan jawaban tepat atas keresahan ini.
Dalam kontemplasi sejenak, aku mengingat kembali jalan hidup yang telah dipilih, melihat rencana-rencana yang telah dibuat baik yang gagal maupun yang berhasil dicapai. Banyak rencana yang gagal, tetapi aku merasa lebih banyak rencana yang berhasil, aku berusaha mensyukuri bagian hidup yang berhasil tersebut. Bukankah sudah hebat kita berencana dan mampu mencapainya?
Ketertinggalan bisa jadi hanya ilusi yang muncul dari pandangan dalam diri terhadap hal-hal di luar kontrol kita. Ilusi ini secara perlahan merusak nilai dan citra diri sendiri yang pada akhirnya menimbulkan rasa kurang percaya diri. Sudah sepatutnya untuk kita menghentikan siklus ilusi ketertinggalan dengan memahami bahwa titik mulai hidup setiap orang berbeda, begitupun jalan yang dilaluinya.